5_I am Hugging My fabulous

I am Hugging My Fabulous

“Ketika suster megarahkan mulut kecilnya untuk mulai belajar menyusu, dia langsung bisa dengan sangat pandainya. Masya Allah….dan Allah memberikan kemudahan, detik itu juga ASI saya sudah keluar…Allah Maha besar…. Saya memeluknya dan tersenyum sambil bergumam dalam hati…At last I am hugging my Fabulous.”

Kehamilan ini sudah saya nantikan sekian lama. Maka mungkin akan banyak orang melihat saya terlalu lebay dalam menjaga diri…terutama soal makanan dan cerewetnya saya klo di perjalanan….buat saya…I don’t care, saya yang hamil kok, kok situ yang repot..hahhaha

Awal kehamilan selama hampir sebulan penuh saya merasa meriang dan batuk yang tak kunjung sembuh, dan pada trisemester pertama saya mengalami apa yang dikenal dengan heartburn..perut ini rasanya panass, sehingga saya kurang nyaman makan. Padahal klo saya telat makan, perut makin terasa panas, karena produksi asam lambung yang meningkat. Dan saya menjalani masa kehamilan dengan masih berjauhan dengan suami dan masih menjalani studi s3 di UI.
Saya putuskan untuk kos di sekitar UI sehingga saya tidak terlalu capek jika harus bolak balik UI. Dan saya berencana merampungkan banyak perkerjaan riset sebelum kelahiran putra kami.

Jadi hingga kehamilan memasuki usia 36 minggu, hampir setiap hari baby didalam perut menemani bundanya mengerjakan riset di ruang kerja mahasiswa doktor di UI plus menemani saya mengajar di kampus tempat saya bekerja. Karena di ruangan kami hanya saya yang lagi hamil, maka kemudia saya punya panggilan sayang baru dari teman teman satu ruangan…bumil.

Selama kehamilan tidak ada drama yang berarti kecuali saya yang harus menjalani masa kehamilan lebih sering sendirian seorang diri kecuali ketika suami pulang ke Jakarta. Alhamdulillah saya melaluinya dengan kuat. Walaupun seringnya perut ini selalu tegang setiap diajak kerja riset. Mungkin baby saya ikutan bantuin mikir emaknya..heheh.
Saya benar benar mandiri selama menjalani kehamilan, karena memang tidak ada yang menemani baik dirumah maupun di kos. Saya juga tidak punya pembantu. jadi semua pekerjaan rumah pun saya tangani sendiri. Pernah suatu momen saya pulang ke rumah kami di tangerang dr kos saya di depok. Saya pulang karena malam itu suami saya pulang kerumah. Saya sampai dirumah pukul 9 malam dengan kondisi hamil sekitar 29 minggu, cukup besar kan. Sampai rumah pompa air saya ngadat. Dan akhirnya mau nggak mau karena jelas saya perlu air buat mandi wudhu nyuci ngepel dll, dengan perut yang sudah sebesar drum itu, saya jongkok2 mbetulin pompa air tengah malam….hahahha..klo ingat itu …ahhh sedih lucu seru juga.

Karena jarak dari rumah ke RSIA bunda cukup jauh, kami mulai mempertimbangkan untuk konsultasi ke dokter lain yang lokasinya lebih dekat dengan rumah. Juga untuk jaga-jaga apabila ada kondisi urgent. Akhirnya kami memutuskan untuk konsultasi ke dokter fetomaternal di RS Eka Hospital Tangerang. .Ahli fetomaternal adalah sub spesialis dari spesialis kebidanan yang ahli dalam menganalisa hasil USG dengan lebih detail dan presisi. Pada pemeriksaaan ke minggu 16 bersama dokter fetomaternal inilah kami tahu bahwa bayi yang kami nantikan adalah bayi laki laki .
Memasuki kehamilan 28 minggu, baby saya terlilit tali pusar, Cuma menurut dokter lilitannya longgar jadi Insya Allah masih aman. Tapi jangan salah, hal semacam itu sudah bisa membuat saya menangis Bombay sepulang kontrol dokter. Saya benar2 takut hal hal yang tidak diinginkan terjadi. Memasukan kehamilan usia diatas 30 minggu, tiba2 saya beberapa kali kontrol dengan tensi yang tinggi untuk seorang ibu hamil. Ini jelas kondisi yang harus dihindari oleh ibu hamil karena ditakutkan pre eklamsia. Dokter meminta saya test urin, dan Alhamdulillah tidak ada konsentrasi protein dalan urin saya.

Memasuki trisemester ketiga dokter meminta saya untuk kontrol tiap dua minggu sekali dan selalu diminta CTG (…..). CTG ini sebuah prosedur diminta diletakkan alat semacam microfon berbentuk ceper bulat diperut saya dan disambung ke sebuah alat perekam yang sekaligus dapat mencetak grafik yang mevisualisasikan kondisi detak jantung bayi, gerakan bayi dan kontraksi. Biasanya dilakukan selama 30 menit. Nha untuk kasus kehamilan saya, sering diperpanjang jadi 45 menit karena seringnya akselerasi detak jantung baby kurang baik.
Jadi kondisi ideal detak jantung bayi selama perekaman ada pada batas threshold, tidak boleh terus terusan tinggi atau sebaliknya terus terusan rendah. Jadi harus ada lompatan lompatan akselerasi. kondisi detak jantung baby saya yang kurang lompatan akselerasi tersebut ditengarai kurangnya pasokan oksigen, jadi saya beberapa kali malah harus tinggal setengah hari di ruang bersalin untuk mendapatkan transfuse oksigen.
Kondisi kondisi seperti ini yang selalu membuat saya merasa insecure. Takut kenapa napa dengan janin didalam kandungan saya. Pengennya kalo bisa segera dikeluarkan saja..heheh.. Namun saya selalu berusaha berfikir, saya hanya manusia biasa, ikhtiar secanggih apapun untuk menjaga kehamilan saya, hanya Allah yang Maha penjaga. Maka saya hanya bisa berdoa dan berdoa untuk keselamatan calon putra kami didalam Rahim saya.
Memasuki minggu ke 38, kami kontrol dokter. Dokter mengatakan air ketuban sudah mulai keruh, plasenta juga sudah mengalami pengapuran, dan bayi saya masih terlilit tali pusar walaupun longgar. Hal itu mungkin yang membuat bayi saya belum juga turun ke bawah. Saya seperti merasa dia berusaha turun Cuma kembali lagi naik keatas.
Dokter mengatakan ini sudah bisa dilahirkan karena kondisi paru paru sudah kuat dengan adanya lemak yang sudah lepas dan mengotori air ketuban. Posisi bayi memang belum turun sepertinya tertahan di panggul kanan atas. Dari penjelasan dokter sebenarnya kami menyimpulkan kalaupun kami menunggu hingga usia kehamilan 40 minggu untuk saat itu kondisi masih memungkinkan.

Namun saya dan suami berdiskusi, kehamilan ini kami nantikan begitu lama dengan perjuangan yang tidak biasa. Dengan kondisi bayi yang terlilit tali pusar, air ketuban sudah keruh, plasenta sudah mulai mengalami pengapuran, akhirnya bismillah saya dan suami memutuskan untuk meminta dokter melakukan oprasi SC untuk melahirkan putra pertama kami. Dokter menyetujui nya. Hari itu senin ketika kami kontrol. Dokter menjadwalkan hari jumat untuk melakukan oprasi SC. Kami setuju karena dalam keyakinan agama kami hari Jumat adalah hari yang istimewa.
Deg degan luar biasa menanti hari SC tersebut. Dan memang saya sudah sering merasakan desakan dalam perut saya dan terasa sakit. Itu yang kemudian ternyata dinamakan kontraksi palsu.

Kamis sore saya sudah berada di rumah sakit…saya ingat malam saya masih sempat mengerjakan beberapa pekerjaan kantor. Saya dan suami khusuk berdoa semoga persalinan saya berjalan lancar dan selamat.
Keesokan pagi, orang tua kami sudah berkumpul untuk turut memberikan dukungan moril dan doa.

Saya masuk ruang tunggu oprasi sekitar pukul 9 pagi. dan benar benar masuk ruangan oprasi sekitar pukul 10 pagi. ruangan itu sangattt dingin. Saya makin merasa deg degan luar biasa dan perutt semakin terasa seperti didorong dari dalam. Bisimillah dokter memulai oprasi SC dan saya didampingi suami.

Saya terus mebaca ayat ayat suci al quran yang mampu saya hapal, sambil tercekat menahan tangis. Perut saya mulai dibelek. Dokter meminta asistennya untuk mendorong bayi saya dari arah perut bagian atas. Sepertinya baby saya dalam posisi yang agak sulit untuk dikeluarkan. Saya agak khawatir.

Tak selang berapa lama suara tangis bayi pecah, dokter mengankat bayi saya diperlihatkan ke saya..ini anaknya ya bu..Alhamdulilahhhh sehat, lengkap, berjenis kelamin laki-laki, pipinya chubby sekali, rambutnya lebat dan hitam sekali. Bayi saya langsung dipindahkan tangankan ke dokter anak yang ternyata seorang Profesor FK UI. Dokter anak tersebut melakukan standar normal membersihkan cairan air ketuban dari badan bayi..dan mencek kondisi fisik sepintas..setelah itu sustes membawa bayi saya untuk dilekatkan di dada saya…saya menangis haru…anak saya lucuuu sekaliiii …saya punya anak…

Selama ini saya selalu menggendong dengan penuh kasih sayang bayi bayi anak anak teman sahabat dan saudara saudara saya. Sekarang saya punya bayi sendiri yang bisa saya hujani kasih sayang saya sepanjang saya hidup. Allah benar benar maha besar, Maha baik dan bijaksana.
Setelah masa pemulihan dan saya sudah kembali ke kamar perawatan. Bayi kami harus menjalani masa observasi selama 6 jam.
Setelah 6 jam suster langsung membawa ke kamar kami, untuk dibantu menyusu…untuk pertama kalinya saya memandang wajahnya dengan lekat. dia putih bersih, jidatnya lebar seperti ayahnya, rabutnya lebat dan hitam sekali, bibirnya mungil merah.
Ketika suster megarahkan mulut kecilnya untuk mulai belajar menyusu, dia langsung bisa dengan sangat pandainya. Masya Allah….dan Allah memberikan kemudahan, detik itu juga ASI saya sudah keluar…Allah Maha besar…. Saya memeluknya dan tersenyum sambil bergumam dalam hati…At last I am hugging my Fabulous.

malam-malam berikutnya bayi kami tidur diruangan kami karena memang rumah sakit mempernolehan room-in. saya dan suami masih selalu merasa takjub. Setelah semua perjalanan kami mendapatkan pangeran kecil kami ini, kami hanya mampu terus bersyukur atas kasih sayang Allah, atas kemurahan Allah menjawab doa doa kerinduan kami akan hadirnya buah hati
kami sematkan nama Al Fatih Dzaky Ihtatho, berharap kelak engkau menjadi seorang pemimpin yang sholih, cerdas, gagah tegas dan berani berjuang di jalan Allah layaknya Muhammad Al Fatih.

4_My First two Strips after 63 purnama

My First two strips Setelah 63 Purnama

“Masih teringat dalam memori saya, betapa saya ternganga, tercekat tenggorokan saya. Setelah 63 Purnama, subuh itu untuk pertama kalinya saya melihat dua strip merah saya….Saya menangis.”
Saat kembali menceritakan ini tak kuasa saya masih saja menangis haru. Allah Maha baik…Allah Maha Baik…Allah Maha baik
berdasarkan hasil pemeriksaan, saya mengalami unbalance hormone dimana rasio hormone LH dan FSH saya terbalik. …..singkat cerita sepertinya saya masih bisa diusahakan untuk melalui proses kehamilan normal hanya perlu memperbaiki pola makan olah raga dan pemberian vitamin sel telur dan pengawasan dokter. Beberapa bulan dokter terus memantau kondisi kesehatan reproduksi saya. Sel telur saya seringnya sedikit dan kecil kecil …pun ketika diberikan vitamin sel telur, pada saat masa subur hanya ada satu telur yang memiliki ukuran normal kematangan. Namun dokter masih menyarankan kehamilan normal dalam beberapa siklus. Dokter melakukan pengawasan sejaka awal sel telur diproduksi yang biasanya bisa dilihat dengan jelas saat hari kedua menstruasi dan kembali mengobservasi kondisi sel telur saat akan menjelang masa subur, sekitar 2 minggu dari mens hari pertama. Lantas dokter akan memberikan saran tanggal kapan sebaiknya kami berhubungan.

Saya masih ingat terkadang saya yang harus terbang ke Balikpapan untuk mengikuti siklus optimal masa subur saya jikalau suami belum bisa pulang ke Jakarta. Saya melakukan ini walaupun dengan keyakinan yang tipis, namun saya hanya ingin menyempurnakan ikhtiar. Saya tak pernah tau di titik mana hal itu akan berhasil.
Setelah beberapa siklus dicoba kehamilan normal belum juga berhasil. Doker mulai memberikan wacana inseminasi atau IUI (Intrauterine insemination). Inseminasi ini adalah sebuah prosedur medis untuk menempatkan sperma di dalam Rahim untuk memfasilitasi proses pembuahan alami. Bahasa dokter saya adalah menciptakan jalan toll untuk sperma agar segera dapat bertemu dengan sel telur.

Secara alamiah, sperma seharusnya berenang melalui mulut Rahim untuk kemudian sampai di uterus dan terus berenang menuju tuba falopi untuk bertemu dengan sel telur. Namun dengan prosedur inseminasi, sperma tidak perlu bersusah susah melalui mulut Rahim. Hal ini akan meningkatkan peluang kehamilan, karena seringkali kondisi mulut Rahim entah secara morfologi ataupun kondisi asam basa nya menjadi beberapa faktor sperma tidak mampu sampai dan bertahan hidup untuk membuahi sel telur

Singkat cerita saya dan suami menyetujui untuk melakukan inseminasi pada siklus berikutnya. Saya banyak membaca literature terkait inseminasi dan mebaca beberapa tips agar bs sukses. Dokter menjelaskan tingkat keberhasilan IUI tidak sampai 20%, namun tidak ada salahnya untuk mencoba. Saya menganggap itu statement dokter saya untuk menyemangati saya sekaligus untuk menyiapkan mental saya akan hasil apapun yang terjadi termasuk yang tidak diharapkan.

Desember 2015 saya melakukan proses inseminasi yang pertama. Pagi hari suami saya sudah diambil spermanya. Tim lab menjelaskan bahwa sel sperma tersebut akan di bersihkan dan difilter untuk mendapatkan yang kualitasnya baik. Saat preparasi petugas lab menjelaskan bahwa kondisi sperma sangat baik, sehingga meningkatkan peluang keberhasilan. Kami pun bersemangat
Masuk ke ruang tindakan, dokter menjelaskan segala sesuatunya. Saya tegang luar biasa melihat semua peralatan dan tempat eksekusi diruangan itu. Sangat takut luar biasa. Proses inseminasi yang biasanya 10 menit sudah selesai, karena saya begitu tegang dokter kesulitan membuka mulut Rahim saya. sehingga proses inseminasi berjalan sangat lambat hampir 30 menit. Beruntung dokter saya cukup sabar untuk tidak emosi melihat saya sangat tegang dan terus berusaha meminta saya untuk rilex.

Saya diminta berbaring selama 30 menit dan kemudial diperbolehkan pulang. 14 hari setelah proses inseminasi tersebut saya diminta untuk testpack. Kami sengaja tidak pulang kerumah karena faktor jarak dan agar tidak kecapkean. Kami bermalam di hotel terdekat dan keesokannya baru pulang ke rumah

Selama 14 hari saya masih selalu optimis dan berharap banyak. Perasaan tak menentu selama penantian, karena jujur saya berharap banyak sekali. Hingga 2 hari sebelum hari testpack, saya mulai mendapatkan flek. Saya masih bebaiksangka. Pertanda kehamilan kan juga flek…jadi bisa jadi ini adalah tanda kehamilan buat saya.
Hari H itu tiba. Saya sudah menyiapkan beberapa testpack dengan beberapa merk. Dan pupus sudah harapan saya…strip merahnya hanya satu.

Saat itu saya menangis sedih sekali. Entah sudah berapa puluh testpack saya buang ke kloset dengan hasil negative. Saya sedih luar biasa. Dan seingat saya, saat itu suami saya di Balikpapan. Saya sendiri, hanya bisa menangis dan langsung mengambil wudhu bersujud kepadanya. Saya menangis sejadinya, saya tidak tahu lagi harus berdoa apa, saya hanya menangis saja ..Toh Allah sudah pasti tahu apa isi hati saya.
Sampai ketika sudah tenang saya memohon kepada Allah untuk dikuatkan untuk tidak menyerah. Saya sempat rehat 1 bulan untuk tidak kontrol untuk melepas rasa tertekan, hingga kemudian bangkit kembali memulai promil.

Dengan pengalaman dokter ahli kandungan yang menangani saya, dokter tidak merujuk saya untuk melakukan HSG. Karena dokter melihat tidak ada indikasi sumbatan saluran tuba. Namun karena kegagalan inseminasi yang pertma, justru sekarang saya yang meminta dirujuk untuk melakukan HSG. Dulu yang sangat saya hindari, sekarang justru saya yang minta. Kalau bukan karena kekuatan Allah, tak mungkin saya punya mental seperti itu. Pagi itu seperti biasa saya berangkat sendiri dengan naek kereta untuk melakukan HSG. Ah anda sudah pasti menebak, wlo saya berusaha berani, tapi toh langkah ini tetap gemetar luar biasa. Seminggu sebelumnya saya sudah selalu berdoa agar proses HSG lancar. Allah memang maha baik, HSG itu memang sakittt kawan, tapi saya melaluinya hanya kurang dari 10 menit..lancar sekali..dan Alhamdulillah kondisi dua saluran tuba saya paten. Saya berjalan gagah dan penuh optimis kembali ke stasiun KRL menuju ke UI. Ah legaaa sekali…HSG yang dulu jadi momok luar biasa sudah saya lewati dan Allah berikan super duper kemudahan.

Singkat cerita kami kembali mengikuti pengawasan dokter untuk program kehamilan normal. Beberapa bulan belum juga membuahkan hasil. Saya dan suami lantas mengutarakan pada dokter, kami ingin mencoba IUI sekali lagi dan jika belum berhasil juga, bismillah kami akan mecoba ikhtiar pamungkas yaitu IVF atau yang lebih dikenal dengan Bayi tabung.

Bulan April kami putuskan untuk melakukan IUI yang kedua. Jadi sejak mens hari kedua saya sudah kembali menjalani masa pengawasan. Tidak ada treatment khusus untuk persiapan IUI, dokter hanya memberikan saya vitamin sel telur dan penebal dinding Rahim dan meminta saya menjaga pola makan dan istirahat cukup serta tidak mengkonsumsi soda dan kopi. Begitupun suami saya diminta menjaga makanan dan istirahatnya. Oia, suami juga disarankan minum susu yang mengandung whey protein untuk meningkatkan kuantitas sperma.

Dari awal pengecekan calon calon sel telur, dokter sudah memprediksi tanggal inseminasi, maka suamipun mulai mengatur jadwal cuti. Tiba hari dimana saya harus kontrol untuk melihat perkembangan sel telur saya. Dan yang tadinya direncakan hari kamis, inseminasi dimajukan hari rabu karena menurut dokter itu kondisi yang paling optimal. Ada satu sel telur saya yang dominan dengan diameter 22 mm. Dokter menyampaikan memang kecil kemungkinan berhasil karena Cuma ada satu sel telur dominan namun tidak ada salahnya mencoba. Masalahnya adalah, suami saya baru cuti hari kamis. Setelah beretemu dokter pada hari selasa tersebut, siangnya saya telp suami menyampaikan saran dokter. Tadinya saya sudah hampir menyerah, artinya suami memang belum bisa pulang, hari itu beliau masih di Balikpapan bekerja seperti biasa, sedangkan dokter meminta kalo mau inseminasi ya sebaiknya haru rabu. Benar benar tepat sehari setelah saya kontrol.

Saat itu saya sampaikan ke suami, “ya sudah coba ijin, jikalau diijinkan kita inseminasi bulan ini, jikalau tidak ya sudah kita coba bulan depan.”…Alhamdulillah tim kerja suami saya mengijinkan. Malam itu juga suami saya terbang ke Jakarta. Sampai rumah kami dikawasan tangerang sekitar pukul 12 malam, dan keesokan paginya sekitar pukul 6 pagi kami meluncur ke BIC di daerah Menteng untuk melakukan prosedur inseminasi.

Sampai di klinik sekitar pukul 8 pagi lebih sedikit. Kami langsung registrasi, dan selang 30 menit suami diminta ambil sperma, dan sekitar bakda ashar proses inseminasi dilakukan.
Ini inseminasi kedua buat saya, sehingga secara mental saya jauh lebih berani. Dokter memuji saya, proses inseminasi berjalan lancar, 10 menit selesai. Saya diminta berbaring kurang lebih sejam dan setelahnya kami pun meninggalkan klinik menuju hotel tempat kami menginap.

Sesuai prosedur, kami diminta testpack setelah 14 hari prosedur inseminasi. Saya sengaja untuk tidak beraktivitas diluar rumah selama seminggu penuh.
Malam itu suami saya pulang kerumah, dan saya ingat saya menggigil merasa tidak enak badan. Esok paginya saya sudah siapkan testpack dengan berbagai merk. Sebelum adzan subuh saya bangun karena saya memang sudah gelisah tidak bisa tidur. Sebenernya saya sudah malas untuk testpack, karena saya sempat curi2 testpack 7 hari setelah inseminasi dan hasilnya negatif.
Saya masuk kamar mandi dengan malas saya mulai tampung urin dan test satu testpack ..saya letakkan ditempat kering. Sambil menunggu hasilnya saya mebalikkan badan mengambil test pack dengan merk berbeda untuk dilakukan test kehamilan yang sama. Saat saya membalikkan badan kembali itulah saya merasa hampir pingsan.
Saya kucek kucek mata. Berkali kali saya coba bersihkan sudut mata…tapi benar, saya melihat samar garis pink di strip kedua… Ya Allah…baru pertama kali saya melihat dua strip itu sepanjang hidup saya. Saya langsung terjatuh duduk…sambil bergetar saya raih testpack dan memandanginya masih dengan tidak percaya…saya keluar pintu kamar mandi, saya Tarik tangan suami saya yang rupanya sedari tadi sudah menunggu tegang diluar kamar mandi. Saya minta dia melihat test pack dengan dua strip merah itu, dan saya memeluknya menangis sejadinya.

Saya benar benar tidak menyangka saya akhirnya bisa hamil. Sulit saya gambarkan dengan kata2, saya melewati 63 purnama, 5 tahun lebih dengan selalu melihat hasil testpack yang negative. Dan hari itu tiba-tiba saya melihat test pack saya positif untuk pertama kalinya. Tak terbayangkan …saya sudah tidak tau apa yang saya rasakan, saya hanya bisa menangis menangis dan menangis karena bahagia.,…Saya hamil, saya mulai mengandung buah hati yang telah sangat kami rindukan..sampai kapanpun saya selalu haru jika mengingat perjalanan saya dan suami dalam mendapatkan buah hati.
Kita memang tidak pernah tahu dititik mana dari sepanjang perjalanan ikhtiar kita, Allah menjawab doa kita.

3_Bertemu Sahabat

Bertemu Sahabat

“Saya menemukan sahabat, yang menjadi salah satu bahan bakar saya untuk tidak lelah menjalani semua prosedur promil ini. “

Tanda-tanda kehamilan tak jua muncul memasuki usia pernikahan yang kelima. Kalaulah saya tak bertemu para sahabat di klinik tempat saya melakukan promil, tentulah saya akan merasa manusia paling merana, tak beruntung dan akhirnya merasa tertekan. Saya sangat merekomendasikan untuk promil di klinik khusus promil, karena selain lebih professional kita akan bertemu dengan teman teman yang senasib seperjuangan. Bukan untuk saling meratapi nasib tapi justru untuk saling menyemangati satu sama lain.
Adek dan kakak saya menikah belakangan, jeda sebulan dari pernikahan mereka, mereka sudah dinyatakan hamil. Belum lagi para sepupu yang satu demi satu menyusul menikah dan satu demi satu pula mulai hamil dan melahirkan buah hati mereka.

Tertekankah saya? …tertekan karena saya memang sudah sangat merindukan kehadiran buah hati, Bahkan saya sering melamun membayangkan jika saya memiliki anak, seperti apa dia, apa yang akan saya lakukan bersamanya dan seterusnya. Tertekan, karena saya juga semakin khawatir dengan kondisi kesehatan reproduksi saya. Mungkinkah saya memang ditakdirkan tidak memiliki keturunan? Adakah penyakit serius yang bersarang di badan ini sehingga saya tidak bisa hamil? Dan pikiran buruk lainnya.

Awal memulai promil saya merasa kecil hati. Akankah usaha ini membawa hasil? Saya benar benar tidak berani berharap banyak.

Seperti bulan sebelumnya, pagi ini jadwal saya bertemu dokter DSOG untuk kntrol dan konsultasi. Kebetulan arah menuju rumah sakit tempat saya promil searah dengaan arah kereta tujuan UI. Jadi biasanya sebelum ke UI, saya akan menuju salah satu rumah sakit paling tua dan ternama di Jakarta yang dokter-dokternya terkenal bertangan dingin dalam menangani kasus kasus promil. Saya sampai di stasiun cikini sekitar puku 8.30 pagi. Dokter biasanya paling pagi datang jam 9 dan lebih sering datang sekitar pukul 10. Karena saya merasa masih punya waktu, saya putuskan untuk berjalan menyusuri trotoar dari stasiun cikini menuju RSIA Bunda.

Begitu sampe di rumah sakit, saya segera menyodorkan buku pasien ke bagian pendaftaran dan mendapatkan nomor antrian 5. Saya lantas bergerak ke lantai atas menuju poli kebidanan dan menyerahkan buku pasien pada suster yang bertugas. Tensi, timbang berat badan, begitu selalu prosedur mereka.
Spot favorit saya ketika menanti pak dokter tiba adalah kursi paling ujung dekat pintu masuk. Biasanya saya akan menunggu sambil membaca buku atau jurnal penelitian. Tapi pagi itu spot itu telah terisi. Seorang perempuan berhijab dan berkacamata yang saya taksir seumuran dengan saya. Ya sudah saya memilih duduk di bangku yang berjarak sekitar dua spot dari nya. Awalnya kami sibuk dengan aktifitas masing masing. Namun pagi itu, ternyata kami harus menunggu kehadiran dokter lebih lama. Dokter telat karena ada tindakan oprasi.

Mulai bosan, saya mulai melirik sosok yang duduk di spot favorit itu. Merasa seumuran, saya jadi tertarik menyapanya. Dan satu lagi, dia juga sendirian sama seperti saya. Saya mulai mendekatinya dan mulai basa basi
“Nunggu dr Taufik juga mba..”, Tanya saya. Dia menjawab sambil tersenyum manis “ iya mba, nie antrian 4. Mbanya juga nunggu dokter Taufik?” ..kujawab lagi “iya mba”
Kembali aku membuka perbincangan: “ sudah berapa lama mba konsul dan promil dengan dr Taufik.”..kembali dia menjawab :” baru sekitar 2 bulan ini mba, tadinya aku konsul dengan dokter lain di rumah sakit lain…dan blab la..”

Singkat cerita kami jadi merasa asik bertukar pengalaman. Dari percakapan itu aku tahu perjuangan yang dia lakukan sudah lebih panjang dan melelahkan. Sudah pernah melakukan laparoscopy, mengalami masalah anti-sperma sehingga tiap hari harus disuntik, dan sudah pernah melakukan inseminasi dan gagal. Usia pernikahannya sudah memasuki tahun ke 6. Dan dia masih bersemangat. Saya jadi merasa, apa yang skerang saya hadapi dan jalani masih jauh dari kata dramatis sebagaimana yang telah ia jalani.
Takdir mempertemukan kami, saya merasa beliau akan mampu menjadi salah satu sumber kekuatan saya dengan ketegaran, komitmen dan semangatnya dalam menjalani promil. Kami pun bertukar nomor whatsapp. Dan terkejutlah kami berdua ketika dia melihat photo profile WA saya yang menampilkan wajah saya dan suami. Ternyata dia mengenal suami saya. Dia adalah teman suami saya di kantor beliau yang lama. Dunia ini kecil sekali…Dan seiring waktu kami saling berkomunikasi dan menyemangati. Termasuk ketika kita berdua menjalani inseminasi. Kedua untuknnya dan pertama untuk saya. Dan kami berdua sama-sama gagal..Kami berdua sama-sama sedih, namun selalu berusaha saling memberikan sugesti positif, bahwa perjuangan kita belum usai, masih ada jalan, kita masih bisa terus berikhtiar.

Saya merasa menemukan sahabat yang benar-benar mampu memberikan saya energy postif dan semangat dalam menjalani promil. Saya juga banyak belajar darinya yang memang sudah lebih lama menarik nafas panjang bertahan pada komitmen promil. Beliau banyak memberikan tips tips agar ikhtiar saya lebih optimal.
Ketika akhirnya beliau dinyatakan positif hamil melalui proses IVF, saya menangis haru ikut merasakan getar bahagia yang hebat. Pun ketika saya mengirimkan foto dua strip merah saya padanya, dia mengatakan “ Aku seperti melihat strip kehamilanku sendiri mba”
Saya menemukan sahabat, yang menjadi salah satu bahan bakar saya untuk tidak lelah menjalani semua prosedur promil ini.

2_Keputusan Besar Untuk Sebuah Komitmen Besar

Keputusan Besar Untuk Sebuah Komitmen Besar

“Kami memilih zona tidak nyaman ini demi mendapatkan kemudahan mengkases promil terbaik dan tercanggih sekalipun yang kami bisa dapat. Dungu rasanya jikalau saya mencari banyak alibi ecek ecek untuk menghindari semua prosedur promil hanya karena rasa takut tak berdasar.”

Bukan sebuah rahasia jikalau program kehamilan memerlukan perngorbanan finansial yang tidak sedikit. Wajar jikalau kami berharap ada bantuan dari fasilitas kesehatan perusahaan tempat kami bekerja. Namun kebijakan kantor dimana tempat kami bekerja menyatakan tidak bisa mencover setiap prosedur yang merupakan bagian dari program kehamilan jikalau usia pernikahan belum lebih dari 5 tahun.

Suami saya awalnya seorang manajer di sebuah perusahaan penerbangan berplat merah yang digadang gadang menjadi salah satu pemimpin masa depan di perusahaan tersebut. Namun karena dinamika kehidupan kantor tempat beliau bekerja dan juga seiring dengan dinamika cara berfikir kami berdua, suami saya mencoba peruntungan di perusahaan yang kami anggap memberikan keuntungan finansial dan pengalaman yang lebih baik. Lama tak terdengar kabar setelah test test tahap awal, tiba tiba suami saya dihubungi untuk interview final user dan singkat cerita suami saya eligible untuk bergabung di sebuah perusahaan multinational besar di bidang perminyakan. Konsekuensinya beliau harus bersedia ditempatkan di Balikpapan, diluar jabodetabek, dengan jadwal 5 – 2 (5 hari kerja, 2 hari libur – Sabtu & Minggu).

Saat itu posisi saya baru saja mendapatkan beasiswa untuk studi S3 di UI yang membuat saya tidak bisa langsung ikut ke Balikpapan mendampingi beliau. Klo lah Cuma pekerjaan pastilah sudah saya tinggalkan, namun tidak semudah itu meninggalkan komitmen beasiswa dari pemerintah. Artinya untuk beberapa tahun kedepan saya dan suami harus menjalani LDM (Long distance Married) yang sama sekali tidak saya harapkan sebelumnya.

Secara finansial jelas menggiurkan…namun sepertinya kalo hanya alasan gaji yang jauh lebih besar dengan kami harus berjauahn, dengan mengorbankan karier cemerlang suami yang terprediksi didepan mata, sepertinya alasan gaji besar belumlah cukup.
Namun Akhirnya kami memutuskan mengambil tawaran pekerjaan tersebut. Sungguh berat sekali. Saya tahu betul dia sudah mencintai pekerjaannya dan juga tim nya di kantor sebelumnya. Farewell beliau dipenuhi isak tangis.
Pun demikian, saya menjalani amatlah sangat berat pada awalnya. Sampai saat inipun rasanya masih tidak nyaman. Namun keputusan besar ini kami ambil karena satu alasan. Perusahaan baru tempat suami saya bekerja mengcover 100% biaya program kehamilan tanpa memandang tahun pernikahan. Inilah satu satunya alasan kami mengambil jalan yang penuh resiko ini

Penuh resiko, karena suami saya sudah mengorbankan karir cemerlangnya ditempat yang lama. Penuh resiko karena kami tidak tahu apakah suami saya mampu survive di perusahaan yang baru. Penuh resiko karena kami juga belum tahu sanggupkah kami menjalani pernikahan dengan jarak ini. Tapi satu satunya alasan pembiayan promil 100% itu membuat kami membulatkan tekad mengambil pilihan ini.
Seingat saya sampa 6 bulan awal, saya selalu menangis ketika setiap minggu sore suami saya pamit kembali ke Balikpapan untuk bekerja. Dan saya harus kembali sendiri dirumah sampai dua pekan kedepan. Bukan lebay, tapi demi Allah saya benar benar merasa berat menjalaninya diawal. Pulang kantor tidak ada teman berbagi, weekend pun klo beliau tak pulang saya lewati sendiri. Saya merasa menikah tapi tak seperti orang menikah. Hidup rasanya hampa…

Namun pengorbanan besar ini menjadi salah satu boasting kami berdua untuk kembali berkomitmen menjalankan program kehamilan. Dengan semua pengorbanan besar ini, saya tak lagi punya nyali mencari alasan untuk tidak lagi komit menjalani program kehamilan kami.

Kami memilih zona tidak nyaman ini demi mendapatkan kemudahan mengkases promil terbaik dan tercanggih sekalipun yang kami bisa dapat. Dungu rasanya jikalau saya mencari banyak alibi ecek ecek untuk menghindari semua prosedur promil hanya karena rasa takut tak berdasar.
Saya mulai mencari banyak informasi terkait klinik program kehamilan di Jakarta. Sehingga kemudian pencarian saya berhenti pada seorang DSOG senior yang ahli di bidang fertilitas di Bunda International Clinic atau RSIA Bunda.
Jarak rumah kami dengan RSIA Bunda terbilang jauh. Perlu satu jam perjalanan jika menggunakan mobil. Kalo masih mikirin malas, tentu faktor jarak ini akan menjadi potensi kuat buat saya terus terusan malas. Sejak pertama kali memutuskan konsul kembali, saya diminta untuk komit kontrol pada saat hari ke dua mens dan saat mendekati masa subur. Jadi praktis dalam sebulan saya perlu bertemu dokter setidaknya dua kali. Karena suami lebih banyak di Balikpapan pada hari kerja, dan jadwal saya bertemu dokter lebih sering tidak pada weekend, mau tidak mau saya lebih banyak menemui dokter seorang diri.

Biasanya saya naek KRL dari Tangerang menuju Duri, dari Duri sambung Manggarai dan dari Manggarai menuju cikini. Durasi perjalanan sekitar 50 menit. Dari stasiun cikini RSIA Bunda bisa dijangkau dengan jalan kaki ataupun naek ojek. Bayangkan klo anda diposisi saya. Musti Konsul dokter sendiri, musti naek KRL pake transit transit pula…pasti bayangannya MALES banget kan?

Namun komitmen selalu berusaha kami asuh. Saya dan suami selalu saling mengingatkan dan menyemangati satu sama lain. Keputusan besar perpindahan karir suami dengan semua resioko yang mengikutinya, tak bisa saya pungkiri menjadi titik tolak awal saya dan suami benar-benar saling menguatkan untuk berkomitmen dan berdisiplin dalam menjalankan program kehamilan

1_Matter of Mentality

Matter of Mentality
“Saya ingat betul pertama kali saya betul betul merayu Allah…, bukan merayu untuk memberikan keberhasilan program kehamilan yang akan kami jalani, bukan…Saya benar-benar memohon pada Allah agar mental saya benar benar dikuatkan. Apapun yang harus saya jalani dalam program tersebut, saya benar benar memohon untuk dikuatkan melaluinya. DIhilangkan rasa takutnya, rasa khawatirnya dan semua yang membuat nyali ini ciut..”

Setahun setelah pernikahan kami, pertanda kehamilan tak juga muncul. Mulai gusar. Bukan takut karena kami tidak bahagia, gusar karena takut akan ekspektasi orang sekitar. Momen pertemuan keluarga besar tiba tiba jadi momok. Saya memilih memojok untuk menghindari pertanyaan seputar kehamilan. Belum lagi Dahsyatnya masyarakat kita, wlopun mereka tak memiliki hubungan kekerabatan dengan kita, bukan hal yang aneh klo mereka juga ikutan kepo.

Setahun setelah pernikahan, kami mulai memutuskan menemui dokter kandungan. Perjuangan untuk bertemu dokter obsgyn ternyata bukan sebuah perkara mudah. Bukan masalah susah cari dokter atau finansial, sama sekali bukan. Tapi bayangan ketakutan yang semakin liar di benak saya benar benar membuat saya berhari hari tidak bisa tidur nyenyak hanya untuk melakukan konsultasi pertama berdua dengan suami seputar kehamilan.
Jangan jangan saya ada penyakit yang berbahaya, jangan jangan saya punya kelainan fungsi organ reproduksi, jangan jangan saya mandul, dan semua pikiran “jangan-jangan” itu begitu dahsyat menghantui saya. Semakin saya menekuri informasi terkait kasus kasus susah hamil, semakin saya terpuruk dalam ketakutan yang tak beralasan.

Hari itu akhirnya saya dan suami menemui seorang obsgyn wanita yang cukup terkenal di wilayah tangerang. Untuk pertama kalinya saya melalui proses usg transvagina…sungguh tegang luar biasa. Saya bersorak gembira dan bersyukur karena hasil USG baik. Selain merujuk suami saya untuk melakukan serangkain test medis terkait reproduksi, dokter juga merujuk saya untuk HSG. Ini adalah proses evaluasi saluran tuba falopi apakah paten atau ada yang tersumbat. Dan disinilah awal mula ketakutan tak berdasar yang teramat kuat dimulai.

Dengan gagah berani saya menuju ruangan radiologi dengan membawa rujukan dokter. Saya dan suami diterima oleh salah satu petugas medis yang sedang bertugas yang kemudian meminta kami masuk untuk diberikan pengarahan.
Petugas medis tersebut mulai bertanya: “ sudah pernah melakukan HSG sebelumnya? “, saya jawab dengan tegas: “belum..” Tapi saya sudah banyak tahu bahwa proses ini akan sedikit menyakitkan..dan saya berusaha untuk mengeliminir rasa takut akan sakit itu. Namun penjelasan mba petugas radiologi akan proses HSG itu membuat saya selama 4 tahun kemudian menjadi jalan ditempat dalam menjalani program kehamilan karena rasa takut yang teramat dahsyat
“Jadi Ibu, proses HSG tidak akan lama klo lancer, paling hanya 10-15 menit, tapi klo ada sumbatan biasanya dokter akan minta diulang. Prosesnya, Miss V ibu akan dibuka dengan alat semacam tang dan akan diberikan corong dan akan disemprotkan cairan contrast. Jika cairan contrast mengisi seluruh saluran indung telur ibu, maka saluran indung telur ibu dinyatakan patent.”
Saat itu hanya berjarak 10-15 menit dari horornya momen saya harus melalui USG transvagina untuk pertama kalinya. Dan tiba tiba saya mendengar “miss V anda akan dibuka dengan alat semacam obeng dan diberikan corong “….glekkkk…informasi berikutnya yang disampaikan oleh petugas radiologi tadi sama sekali tidak lagi dapat saya cerna. Saya sudah ketakutan luar biasaaaa….

Harusnya bulan berikutnya, saat hari ke 9 atau 10 sejak hari pertama haids saya ke lab radiologi untuk melakukan HSG…bulan pertama setelah konsultasi pertama saya tak punya nyali untuk melakukan HSG. Saya takut sekaliii membayangkan prosesnya dan takut akan hasil yang tidak sesuai harapan…bulan kedua, ketiga, keempat, sampai akhirnya satu tahun terlewati saya sama sekali tak mampu mengalahkan rasa takut. Satu tahun itu hilang tanpa saya melakukan apa apa.
Masuk Tahun Ketiga masa pernikahan, orang tua mulai pengen tahu ikhtiar apa yang sudah saya jalani. Saya yang tadinya rajin mengunjungi rumah mertua …menjadi sebaliknya.
Sempat berujar ke suami: “klo saya belum berani ke dokter lagi saya nggak mau pulang menjenguk orang tua dulu…”. Saya nggak mungkin bohong bahwa saya sudah melakukan ikhtiar A, B, C…tapi saya juga tak punya muka untuk mengatakan bahwa selama setahun kemaren, saya sama sekali tidak melakukan ikhtiar apa apa terkait upaya medis. Saya hanya berputar dengan rasa takut yang semakin liar.

Setalah setahun hibernate, saya kembali memberanikan diri menemui dokter. Itupun setelah siklus menstruasi saya yang tiba tiba kacau balau…Nyali ini semakin ciut karena ternyata yang tadinya baik baik saja, setelah setahun produksi sel telur justru bermasalah…plus dokter masih saja menyarankan HSG yang saya berharap untuk sementara tidak perlu….saya kembali tak punya nyali berjalan lebih jauh, tahun ketiga pernikahan kami pun saya jalani tanpa ikhtiar berarti…semua hanya karena rasa takut yang luar biasa, pikiran pikiran negative yang liar yang tidak mampu saya kendalikan.
Saya mencoba berganti dokter, berharap mendapatkan kenyamanan atau spirit yang mampu mengurangi rasa takut yang saya rasakan. Namun hal itu tidak terjadi. Tahun ketiga pernikahan kami pun berlalu tanpa kami melakukan ikhtiar berarti untuk mendapatkan buah hati.
Tahun ketiga itu, saya hanya menemui DSOG 2 atau 3 kali dan BELUM JUGA BERANI melakukan HSG
Hingga pada pertengahan tahun 2014, sebuah keputusan besar terjadi dalam kehidupan pernikahan kami. Keputusan ini yang kemudian membuat kami hanya dapat bertemu dua pekan sekali, itupun hanya saat weekend. Keputusan besar ini , adalah sebuah pengorbanan besar demi program kehamilan kami. Itu artinya saya tak lagi punya alasan untuk takut atau menunda-nunda program kehamilan.
Disaat tak lagi punya ruang untuk menghindar…saya dan suami memantapkan hati memulai melakukan program kehamilan secara intensive. Kami mulai mencari klinik terbaik dan dokter terbaik hasil rekomendasi beberapa teman dan rekomendasi virtual di Jakarta.
Saya ingat betul pertama kali saya betul betul merayu Allah…, bukan merayu untuk memberikan keberhasilan program kehamilan yang akan kami jalani, bukan…Saya benar-benar memohon pada Allah agar mental saya benar benar dikuatkan. Apapun yang harus saya jalani dalam program tersebut, saya benar benar memohon untuk dikuatkan melaluinya. DIhilangkan rasa takutnya, rasa khawatirnya dan semua yang membuat nyali ini ciut.
Doa doa yang tak pernah putus dan bulatnya tekat saya dan suami, membuat saya mampu melalui semuanya dengan mudah. Tak pernah terbayang dalam benak saya bahwa saya akan mampu melewati HSG tanpa ditemani suami. Berangkat dan pulang dengan menggunakan KRL tanpa ditemani siapapun. HSG yang dulu menjadi momok tak terperi itu mampu saya lewati dengan gagah berani. Sakitttt sekali memang, namun hasil yang baik membuat rasa sakit itu cepat hilang.
Tak pernah terbayangkan sebelumnya, minimal 2 kali dalam sebulan saya harus kontrol rutin dan menjalani usg transvagina tanpa lagi merasa takut dan HAMPIR SELALU TANPA DITEMANI suami.

Allah betul betul menguatkan mental saya. Semua uji lab dan pemeriksaan saya lalui walaupun dengan bayangan ketakutan akan hasil hasil yang buruk. Sampai puncaknya kami memutuskan melakukan IUI karena ikhtiar kehamilan normal dengan pengawasan dokter tak kunjung membuahkan hasil. Dua kali saya menjalani IUI (inseminasi), dengan proses yang waktu itu saya bayangkan mengerikan. Saya mampu melewatinya. Belum lagi kekecewaan yang teraamat dalam atas kegagalan IUI pertama…Tanpa Allah saya tak mungkin segera bangkit dan mencoba lagi.

Bagaimana itu bisa terjadi? Saya yang sebelumnya didukung suamipun sangat takut, kini tanpa ditemani beliaupun saya dengan ringan melangkah. Saya yang selama ini takut gagal, takut ada penyakit berat yang ternyata bersarang ditubuh ini, semua mampu ditebas dan saya menjalani semua pemeriksaan dengan tenang.
Allah benar benar menguatkan mental saya.

Saya memang masih takut, namun seakan Allah menopang dan mendorong saya untuk terus melangkah. Saya tak pernah sedikitpun merasa malas lagi walopun harus kontrol sendiri dengan naek KRL dan ojek.
Dan ketika rasa khwatir berelebihan itu berhasil kita lawan, rasa malas berhasil kita enyahkan, seakan kita sudah masuk kedalam “rumah” promil dengan tenang. Semuanya terasa ringan dijalani.

Apapun hasilnya, klopun kita harus kecewa, berdoalah selalu Agar Allah membersamai kita dalam menyempurnakan ikhtiar.