Bulan ini ada beberapa teman kantor yang pergi umroh. Jadi inget ada draft postingan tentang umroh yang belum aku selesaikan. Ini dia:
Kata orang, hal-hal tidak menyenangkan yang kita alami selama haji/umroh adalah balasan atas perbuatan kita sehari-hari. Misalkan ada seseorang yang kehilangan uang ketika haji/umroh, maka biasanya orang tersebut dalam kesehariannya kurang dalam memberikan zakat, infak atau shodaqoh. Kami juga mengalami hal-hal tidak menyenangkan selama umroh.
Mules
Malam itu aku dan bapak bangun malam untuk sholat malam di Masjid Nabawi. Jam 2 pagi kami sudah berangkat ke sana dengan niat supaya dapat sholat malam di Raudah. Ternyata jam 2 pun Raudah sudah ramai, aku pun mengurungkan niat untuk sholat di sana dan memilih di bagian depan masjid. Sementara bapak tetap berusaha masuk ke area Raudah. Alhamdulillah aku dapat sholat malam dengan cukup tenang. Aku bilang cukup tenang karena masih ada beberapa orang yang lalu lalang di depanku saat sedang sholat.
Masalah dimulai saat mulai sholat Shubuh. Baru di rakaat pertama saat membaca al Fathihah, tiba-tiba perutku terasa mulas. Padahal selama sholat malam tadi perutku fine-fine saja. Aku coba menahannya bahkan sambil sedikit membungkukkan badan. Keringat dingin pun mulai keluar dari tubuhku. Rasa mulas itu tidak berkurang sedikit pun. Aku sampai berdoa agar Allah memberikan kesempatan kepadaku untuk menyelesaikan sholat Shubuh berjamaah ini. Namun rupanya Allah berkehendak lain. Belum sampai rukuk di rakaat pertama, aku tak kuasa lagi membendungnya. Ada sesuatu yang keluar dari belakang, untungnya tidak bunyi dan bau. Perasaanku campur aduk, antara sedih karena tidak bisa menyelesaikan sholat dan bingung harus apa. Akhirnya aku memutuskan untuk berpura-pura meneruskan sholat (semoga Allah mengampuni kesalahanku). Setelah salam, aku langsung buru-buru keluar masjid untuk kembali ke hotel karena aku merasa tadi (maaf) BAB di celana. Karena aku tadi sholat di shaf depan, sementara aku keluar lewat pintu King Fadh (berlawanan dengan arah kiblat), perjalanan keluar masjid rasanya lamaaa banget. Rasa mulas pun muncul lagi. Akhirnya begitu keluar masjid, aku langsung lari ke toilet yang ada di basement. Plong rasanya… Setelah tuntas, aku cek CD-ku. Ternyata kering dan tidak bau. Aku pun kemudian langsung sholat Shubuh di pelataran masjid Nabawi di saat jamaah lain mulai keluar masjid.
Ketinggalan Tas
Setelah 3 hari beribadah di Madinah, kami melanjutkan perjalanan ke Mekah tanggal 6 Juli 2012. Kami niat umroh di Bir Ali yang terletak sekitar 10 km dari Madinah. Sekitar jam 10 malam kami sampai di Mekah. Barang bawaan kami langsung dibawakan oleh porter ke depan kamar, sementara kami mengganjal perut dulu. Setelah makan, kami diberi waktu 30 menit untuk menuju kamar dan kemudian berkumpul di lobi untuk langsung menuju Masjidil Haram melaksanakan ritual umroh. Saat sampai kamar inilah Afny baru sadar kalau tas jinjingnya ketinggalan di bis. Tas itu sengaja aku taruh di luggage bin karena sudah banyak tas yang kami pangku. Begitu turun, kami berdua lupa tentang tas itu. Isinya adalah make up, buku, dan perlengkapan pribadi Afny yang sulit dicari gantinya di Mekah. Afny pun panik. Aku segera menelpon mas Syafi’i, pembimbing umroh kami, untuk menanyakan apakah bis masih di depan hotel. Sayangnya bis telah kembali ke pool nya sejak tadi. Aku minta tolong untuk meminta supir bis itu kembali lagi ke hotel tapi mas Syafi’i menolak karena letaknya cukup jauh dari hotel. Afny sempat memarahi mas Syafi’i yang akhirnya datang ke kamar kami. Untungnya dia cukup sabar dan menenangkan kami dengan berjanji untuk menelpon supir bis agar mengamankan tas kami.
Menyesal karena telah memarahi mas Syafi’i, Afny pun seger menyusulnya ke lobi dan meminta maaf atas kemarahannya tadi. Sekali lagi, untungnya mas Syafi’i orangnya sabar dan tidak terlihat sakit hari walau sudah dimarahi. (Dan Alhamdulillah, keesokan paginya mas Syafi’i membawakan tas kami dalam keadaan utuh)
Ibu Hilang !!!
Setelah tragedi tas ketinggalan, rombongan kami langsung menuju Masjidil Haram dengan berjalan kaki. Jarak dari hotel kami ke Masjidil Haram sekitar 300 m. Sepanjang jalan banyak hotel-hotel yang sedang direnovasi, akibatnya jalanan kotor dan berdebu. Tapi debu-debu itu terasa sirna begitu kami melihat Masjidil Haram. Hatiku dipenuhi oleh rasa bahagia karena dapat mendatangi Baitullah yang selama ini hanya aku lihat di atas kertas atau layar kaca. Begitu masuk masjid dan melihat Ka’bah, seketika aku merasa kecil. Bukan karena bangunan Ka’bah yang besar atau karena melihat jamaah dari negara lain yang badannya lebih besar, tapi karena begitu besarnya kuasa Allah untuk menggerakkan hati begitu banyak manusia untuk mendatangi Baitullah. Tidak lupa kami pun membaca doa melihat Ka’bah.
Ritual umroh pun kami laksanakan bersama-sama dengan dibimbing oleh mas Syafi’i. Selama tawaf, segala keinginan dan keluh kesah kami adukan kepada-Nya, satu-satunya tempat mengadu. Keinginan kami agar mendapatkan keturunan dan menjadi keluarga sakinah, mawaddah,warahhmah yang langgeng kami sampaikan di sana. Lega rasanya hati ini.
Ibadah pun kami teruskan dengan sa’i, berjalan diselingi lari-lari kecil antara Safa dan Marwa. Aku merasa malu dan tidak ada apa-apanya dengan Siti Hajar yang berlari bolak-balik antara Safa dan Marwa yang saat itu merupakan lahan terbuka. Sementara sekarang sudah beralaskan marmer yang dingin dan beratap. Itu pun masih dilengkapi dengan AC, kipas angin dan tempat minum zamzam.
Selesai tawaf, maka selesailah ibadah umroh kami. Alhamdulillah… Kami pun segera menuju tempat minum terdekat untuk menghilangkan dahaga. Aku dan Afny sengaja berjalan paling akhir, selain karena kaki Afny sakit juga untuk jadi tim penyapu siapa tahu ada rombongan yang ketinggalah. Dari kejauhan aku lihat mbak Nining dan Bapak, tapi Ibu tidak kelihatan. Ah, pasti Ibu juga bersama mereka pikirku. Setelah minum dan mengisi botol minum dengan zamzam, kami pun berjalan menuju pintu King Abdul Aziz, tempat pertama kami masuk Masjidil Haram dan meletakkan sandal. Sesekali kami juga berfoto dengan latar belakang Ka’bah. Belum sampai pintu tersebut, kami bertemu mbak Nining dan Bapak. Mereka bertanya apakah melihat Ibu. Ternyata mereka meninggalkan Ibu yang sedang mengisi botol minum, karena saat itu masih ada beberapa jamaah yang lain. Kami berempat pun kembali ke tempat minum tadi. Tapi nihil, Ibu tidak ada di sana. Aku langsung menghubungi mas Syafii, pembimbing kami. Ternyata dia sudah pulang karena dia ada keperluan lain sementara para jamaah masih ingin istirahat di masjid.
Akhirnya kami kembali ke pintu King Abdul Aziz dan bertanya ke jamaah yang memang menunggu kami. Tidak satupun dari mereka yang melihat Ibu, kecuali salah seorang bapak. Dia melihat seseorang yang mirip ibu berjalan keluar. Kami berempat segera keluar tanpa alas kaki sampai batas halaman masjid. Ibu tidak terlihat. Kami pun berbagi tugas, aku dan Afny mencari Ibu ke hotel sementara Bapak dan mbak Nining menyusuri masjid. Sepanjang jalan menuju hotel aku bilang ke Afny kalau kecil kemunginan Ibu kembali ke hotel sendirian, apalagi tanpa alas kaki. Belum lagi saat itu malam hari dan Ibu belum tentu hafal lokasi dan nama hotelnya. Sebenarnya tiap jamaah dibagikan kartu nama hotel. Tapi kartu milik Ibu dititipkan ke mbak Nining dengan alasan khawatir hilang. Afny tidak mempedulikan keluhanku dan tetap bersikukuh untuk menuju ke hotel. Begitu sampai pintu hotel terlihat Ibu tanpa alas kaki sedang berbicara dengan petugas resepsionis. Kami langsung menghambur memeluk Ibu. Afny sambil mengucurkan air mata meminta maaf pada Ibu. Dengan tenang dan tanpa air mata, Ibu menenangkan Afny bahwa semua bukan kesalahan kami. Aku segera menelpon mbak Nining untuk mengabari bahwa Ibu sudah kami temukan.
Ternyata waktu Ibu mengisi botol minum, mbak Nining dan Bapak izin duluan untuk mengambil sandal. Waktu itu memang masih ada beberapa jamaah. Tapi setelah selesai mengisi air, Ibu tidak melihat satupun jamaah termasuk kami. Kami pun tidak melihat Ibu padahal kami berjalan paling akhir. Akhirnya Ibu berjalan menuju pintu King Abdul Aziz sambil berharap bertemu dengan rombongan. Bahkan Ibu beberapa kali berhenti dan memutar tubuh dengan harapan ada jamaah yang melihat mukenah Ibu yang eye catching. Akhirnya Ibu pun memutuskan untuk berjalan menuju hotel.
Kaki Bapak Sakit
Tanggal 9 Juli 2012, kami melakukan umroh yang kedua. Kami mengambil niat dari Ji’ronah, setelah sebelumnya ziarah ke Jabal Tsur & Jabal Rahmah. Umroh kami mulai setelah sholat dhuhur. Kebayang kan panasnya. Kami berdua sengaja memisahkan diri dan berjalan di belakang rombongan supaya bisa lebih khusuk, sekaligus mengawasi kalau-kalau Ibu terpisah dari rombongan lagi.
Sejak tawaf Bapak sudah mulai terpincang-pincang jalannya. Memang sejak beberapa bulan sebelum umroh, Bapak mengeluhkan kaki kirinya yang sakit. Sudah berobat kesana kemari tapi belum juga sembuh. Sehari sebelumnya ternyata Bapak melakukan tawaf setelah sholat. Niatnya sekalian menguji apakah kakinya masih kuat untuk umroh esok harinya. Tapi hasilnya setelah umroh Bapak jadi tidak kuat jalan lagi. Awalnya Bapak ingin istirahat di masjid sambil menunggu Ashar dan menyuruh kami untuk duluan saja kembali ke hotel. Tapi kami tidak tega membiarkan Bapak sendirian di masjid dengan kaki sakit, tanpa makanan dan masih menggunakan kain Ihram. Akhirnya kami menuntun Bapak untuk kembali ke hotel. Hari itu Bapak sholat Ashar di hotel saja.
Dari kami berlima, hanya mbak Nining saja yang tidak mengalami kejadian tidak menyenangkan selama umroh. Terlepas dari apakah hal-hal di atas merupakan ujian atau peringatan bagi kami, yang jelas itu adalah pengalaman yang tidak akan kami lupakan.